Rabu, 23 Februari 2011

"Problem about western film"



Mencuatnya sejumlah pendapat pro dan kontra terkait “dilarangnya” film asing (holywood) beredar di tanah air seharusnya dilihat dari perspektif cover both side. Cukup miris ketika masyarakat Indonesia hanya melihat satu sisi saja, bahkan langsung melabel “dilarang” secara general.
Ini menunjukkan bahwa Indonesia memang cukup kental dengan budaya konsumerisme yang sangat kuat. Begitu sesuatu yang menjadi gaya hidupnya dilukai, ocehan demi ocehan keluar dari pikiran yang seragam.
Bukan naif ataupun terkena penyakit “sok”, namun di sini, mari kita jabarkan lebih lanjut apa cerita dibalik kasusu ini sehingga kita mampu melihat dari dua sisi yang berbeda dan nantinya pelabelan yang universal mampu kita kaji lagi lebih dalam. Penambahan royalti tersebut sudah sesuai dengan ketentuan Badan Perdagangan Dunia (WTO). Saat ini film impor diklasifikasi dalam HS Code 3706, dengan pembebanan tarif bea masuk 10 persen, PPn Impor 10 persen, dan PPh pasal 22 Impor 2,5 persen.
Sebenarnya, film² asing tidak DILARANG, pihak MPA (Motion Picture Association) menolak bea masuk impor film asing bertambah karena Bea Cukai memasukkan pembayaran royalti film impor dalam penghitungan bea masuk.
Inilah yang perlu digarisbawahi, MPA yang tidak mau memasok film mereka bukan kebijakan pemerintah yang menolak. Jadi, sebaiknya smua judul² berita di media perlu diganti dengan kata sesuai fakta yang sudah dianalisis.
Namun menurut hemat saya (sepertinya kata ini lagi trend di kalangan politisi dan pengamat politik), MPA sepertinya akan mengalah. Pasalnya, lagi-lagi kita harus melihat besar keuntungan yang mampu diunggah dari Tanah Air yang sudah merdeka selama 65 tahun ini akibat budaya konsumerisme yang sangat tinggi.
Lalu, timbul juga pemikiran akan semakin bertambahnya ranah korupsi di perpajakan. Ya, mungkin kita bisa bilang,”kan ada KPK”, tapi tetap saja ada lubang untuk melakukan korupsi.
Yah, kembali lagi kepada rumitnya negara ini, satu kebijakan pasti selalu menuai komentar dan kritik, namun sebaiknya kita harus melihat dengan prinsip “untung rugi” dan “sebab akibat”, sehingga setiap kebijakan bisa kita koreksi dan evaluasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar